Refleksi Di Tengah Pandemi
Sumber gambar : suaraislam.id
Refleksi Di Tengah Pandemi
Oleh : Yuni Auliana Putri, S.Si
(Praktisi Pendidikan di Malang)
*Tulisan telah dimuat pada kolom opini Radar Indonesia News (2/4/2020)
Hingga hari ini
(2/4) jumlah pasien positif Corona masih terus meningkat sejak kasus pertama
pada 2 Maret 2020. Bahkan dalam akhir-akhir ini peningkatan kasus per harinya
melebihi 100 kasus. Itu yang di Indonesia. Sedangkan didunia, Virus Covid-19
ini telah menyebabkan 934.245 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 46.923
sebagaimana yang dilansir oleh Worldometers Kamis pagi. Virus covid-19
telah menyebar setidaknya 141 negara di dunia (Kompas.com/15
Maret 2020). Tentu ini merupakan kabar yang memilukan. Namun, sebagai seorang
muslim tidak boleh mengedepankan perasaan putus asa, justru ada banyak hikmah
yang seharusnya didapat.
Di Indonesia, tepat
1 bulan setelah diumumkannya kasus pertama oleh pemerintah pada tanggal 2 Maret
2020, kesedihan mendalam yang terus menghinggapi hati ini. Melihat angka
kematian akibat virus ini masih terus bertambah, tenaga medis yang mulai
kewalahan bahkan tumbang dalam menangani pasien yang tidak sedikit, sehingga
terbersit “Ya Allah SWT dosa besar apa yang kami perbuat? Sehingga Engkau berikan
peringatan keras bagi dunia dan bangsa ini”. Dalam kehidupan memang kita
tidak akan henti-hentinya menghadapi musibah dan ujian. Karena hal tersebut sebenarnya
esensi kehidupan itu. Sehingga apabila seorang muslim telah lolos dari ujian
maka dia akan naik level keimanannya. Terjadinya pandemi sejatinya merupakan peringatan kepada manusia
untuk melakukan introspeksi terhadap apa yang selama ini dilakukan. Banyak
lembaga juga yang memperlihatkan bagaimana bumi lebih tidak polusi. “Para
peneliti di New York mengatakan kepada BBC yang dikutip pada Minggu
(29/3/2020), hasil awal riset mereka menunjukkan karbon monoksida, terutama
dari mobil, telah berkurang hampir 50% dibandingkan dengan tahun lalu”(m.liputan6.com/30
Maret 2020). Mungkin bumi saat ini
sedang beristirahat akibat ulah tangan manusia selama ini pada aspek
lingkungan. Dari aspek lainnya pun sepertinya perlu kita koreksi, jangan-jangan
telah banyak maksiat yang selama ini kita lakukan di berbagai aspek kehidupan
kita.
Karenanya Allah
SWT telah mengingatkan kita, bahwa jika kita berpaling dari peringatan-Nya
dalam artian tidak taat pada aturan yang Allah SWT turunkan serta melakukan
larangan-Nya, maka kita akan diberikan penghidupan yang sempit dan dibangkitkan
dalam keadaan buta pada hari kiamat. Na’udzubillah.
Adanya pandemi ini
sudah semestinya kita jadikan momentum untuk refleksi atas apa yang sudah kita
lakukan. Dalam hal ekonomi misalnya, sudahkah menaati perintah Allah SWT
mengenai riba? Jawabnya ternyata selama ini praktek riba masih dibolehkah di
negeri ini. Mengapa tidak larang, karena memang negeri ini cenderung kepada
ekonomi pasar atau ekonomi kapitalis. Ditambah lagi dengan asas kebebasan
berkepemilikan, begitu banyak SDA yang ternyata sudah dijual kepada asing
sedangkan pemasukan negara justru dari pajak yang notabene iuran rakyat.
Padahal, jika dalam ekonomi Islam, Allah SWT melarang untuk memprivatisasi
apalagi swatanisasi kepemilikan umum. Belum lagi kemaksiatan lainnya seperti
perzinahan, LGBT, inses yang juga semakin menjamur. Kebebasan berekspresi pun
menjadi dalihnya. Maka, Rasulullah SAW telah mengingatkan akan terjadinya suatu
wabah berikut sebabnya. Sahabat
Abdullah bin Umar radhiyallah
anhuma menyampaikan sabda Rasulullah,
لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي
قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ
وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا
“Tidaklah fahisyah (perbuatan keji) tersebar
pada suatu kaum kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali
akan tersebar di tengah-tengah mereka wabah penyakit tha’un dan berbagai
penyakit yang belum pernah terjadi pada kaum sebelum mereka.” (HR. Ibnu Majah no.
4019. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih
Ibn Majah no. 3262).
Salah satu bentuk dari fahisyah (perbuatan
keji) adalah perbuatan zina. Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan,
إِذَا رَأَيْتَ الْوَبَاءَ قَدْ
فَشَا فَاعْلَمْ أَنَّ الزِّنَا قَدْ فَشَا
“Apabila engkau menyaksikan wabah penyakit
telah menyebar, ketahuilah bahwa (di antara sebabnya adalah) perzinaan telah
merebak.” (Hilyatul Auliya 6/379).
Ternyata lahirnya beragam kemaksiatan hari ini
juga sangat didukung oleh adanya paham kebebasan yang lahir dari rahim demokrasi. Sistem demokrasi
yang berasaskan bahwa aturan semestinya dibuat oleh manusia dengan menyingkirkan
peran agama (sekuler). Sistem ini jelas yang rusak dan batil. Karena manusia
memiliki akal yang lemah untuk menyatukan beragam pemikiran manusia serta hawa
nafsunya. Sehingga, yang ada hanyalah kerusakan jika manusia mengedapankan akal
dan hawa nafsunya dengan menomor duakan aturan yang berasal dari Pencipta
manusia.
Maka, sudah saatnya renungan ini
menjadi alarm peringatan atas kemaksiatan yang sudah terjadi dan menjadi
cambukan semangat untuk memperbaiki bangsa ini. Dan memang tak ada solusi lain
untuk memperbaiki bangsa ini dengan kembali kepada penerapan aturan dari Allah
SWT. dan meninggalkan aturan yang bersumber dari akal manusia semata. Aturan
Allah SWT yang telah tertuang dalam Kitab yang Mulia Al-Qur’anul Kariim, yang
harusnya kita jadikan pedoman dalam kehidupan kita. Dan penerapan itu telah
dicontohkan dan bahkan dahulu pernah menjadi peradaban yang agung dengan
kemajuan ekonominya, ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Komentar
Posting Komentar