KORUPSI: EPISODE YANG TAK ADA HABISNYA
Oleh : Yuni Auliana Putri (Mahasiswa Jurusan Kimia
Universitas Negeri Malang)
*Tulisan telah dimuat pada kolom Opini Koran Malang Post (2018)
Korupsi
yang semakin hari semakin marak terjadi dari berbagai era kepemimpinan. Korupsi
bak sinetron berepisode-episode yang tak kunjung berakhir ceritanya. Mulai dari sebelum kemerdekaan sampai era
reformasi, korupsi terus ada di negeri yang tercinta ini.
Sebelum
kemerdekaan, gejala munculnya korupsi dan berbagai penyimpangan lain mulai
dilakukan oleh para bangsawan, maupun raja. Yang ternyata juga dilakukan penjajah
seperti portugis, inggris dan spanyol. Lanjut ke masa orde lama, berbagai
lembaga/badan yang bertugas untuk memberantas korupsi pun dibentuk misalnya
Panitia Retoolong Aparatur Negara (Paran). Namun, tidak cukup sampai disitu
saja, tahun 1963 melalui Kepres No 275 pemberantasan korupsi dilakukan dengan
menunjuk Nasution sebagai Menkohankam/Kasab sebagai ketua dan dibanu oleh
Wiryono Prodjokusumo. Dan hasilnya cukup mencengangkan, kurang lebih 11 miliar
uang negara yang dapat diselamatkan dalam waktu 3 bulan dibentuknya lembaga
yang dikenal dengan istilah Operasi Budhi itu. Tak kalah dengan orde lama, pada
orde baru pun dibentuk Tim Pemeberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh
Jaksa Agung. Namun, kinerja TPK yang dirasa tidak serius dalam memberantas
korupsi, akhirnya menimbulkan unjuk rasa dari para mahasiswa di tahun 1970.
Pada era reformasi pun tak kalah banyaknya. Era penuh harapan untuk terjadi
perubahan (reformasi) ternyata menimbulkan statement “masih enak zamanku toh”
yang merujuk pada perkataan fenomenal Presiden Soeharto. Pada era BJ Habibie, beliau
pun membentuk badan yang diharapkan dapat memberantas korupsi seperti Komisi
Pengawasan Kekayaan Penyelenggara Negra (KPKPN), Komisi Pengawasan Persaingan
Usaha (KPPU) ataupun Lembaga Ombudsman. Tim gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK) juga dibentuk pada era Abdurrahma Wahid. Namun, kasus
korupsi tetap saja terjadi pada era-era setelahnya. Bahkan, semakin
menjadi-jadi. Tak cukup hitungan ratusan juta, miliyar sampai triliun uang
negara telah ‘dimakan’ oleh para tikus elite pemerintahan.
Masih
lekat dalam ingatan kita, terkait kasus mega korupsi e-KTP yang melibatkan sederet
nama orang-orang yang diduga menerima aliran dana korupsi e-KTP tersebut berani
dibeberkan oleh Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang merupakan Keponakan Setya
Novanto. “Rinciannya, USD 1 juta untuk Chairuman (Harahap);pertama 500 (ribu
USD) berikutnya 1 juta (USD), terus ke Pak (Melchias Marcus) Mekeng USD 1 juta,
terus ke Pak Agun (Gunandjar) USD 500 ribu dan USD 1 juta, terus Jafar (Hafsah)
USD 100 ribu, ke Ibu Nur (Ali) Assegaf USD 100 ribu,” kata Irvanto di
persidangan (kaltim.tribunnews.com/ 22 Mei 2018)
Bahkan,
berbagai drama panjang pun terjadi, mulai dari mangkirnya ketika
dipanggil oleh KPK hingga mobil yang menabrak tiang listrik dan menyebabkan Setya
Novanto dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Setya Novanto yang pernah
menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar kemudian dituntut
hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan
oleh jaksa penuntut umum (m.liputan6.com/24 April 2018). Selain itu, sebagaimana
dilansir dalam bbc.com pada tanggal 29 Maret 2018 jaksa juga menuntut hukuman
tambahan berupa uang pengganti US$ 7,3 juta yang dikurangi oleh uang yang sudah
dikembalikan terdakwa sebesar Rp 5 miliar rupiah.
Tidak
hanya melibatkan kalangan elite politik diwilayah pusat (jakarta). Penyakit
‘korupsi’ juga menjangkiti tataran pejabat kabupaten/kota. OTT atau Operasi
Tangkap Tangan para Bupati/ Wali Kota telah banyak terjadi. Dan Wali Kota
Malang juga telah menjadi salah satu tersangka dalam kasus suap pembahasan
APBD-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015. Selain itu, yang terbaru KPK juga
memeriksa tujuh Anggota DPRD Malang sebagai saksi dalam perkara kasus tersebut
(m.tribunnews.com/18 Juli 2018).
Persoalan
korupsi ini bukan persoalan yang main-main. Kita tentu tidak menginginkan
Indonesia yang pada saat ini masuk dalam peringkat 14 dari daftar negara paling
korup di wilayah Asia Pasifik yang dilansir Transparency.org, Jum’at
(23/2/2018). Jika kita analisis, terdapat 3 aspek yang perlu diperhatikan
sebagai upaya pemberatasan korupsi di negeri ini. Individu, masyarakat dan
negara. Ketiganya menjadi aspek mendasar jika kita ingin menyelesaikan suatu
problem besar yang terjadi, seperti masalah korupsi ini. Individu yang saat ini
terus diwarnai dengan tinta sistem
Kapitalisme akhirnya melahirkan seorang yang tidak pernah merasa puas dengan
apa yang dimilikinya dan menjadikan materi, uang dan kekuasaan sebagai tujuan
utama dan cita-cita yang harus diraihnya. Sistem kapitalisme pun telah mengikis
secara perlahan ajaran-ajaran kebaikan untuk hidup sederhana dan senang
berbagi. Namun, justru budaya hidup berlebih-lebihan dan saling pamer kekayaan menjadi hal yang
biasa. Bahkan, akibat diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini, hingga
negeri ini serasa “sold out” oleh para asing dan aseng. Buktinya, Rektor
Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Pratikno mengatakan hingga saat ini aset
negara sekitar 70-80 persen telah dikuasai asing (m.antaranews.com/10 November
2013)
Maka,
solusi yang tepat untuk memperbaiki ketiga aspek tersebut tidak lain hanya
dengan sistem Islam yang akan menyelesaikan hingga ke akar-akarnya. Baik secara
individu, masyarakat maupun negara. Dari segi individu, seorang yang mengimani
Allah SWT dengan keimanan yang benar pasti akan tertancap secara kuat bahwa ia
merupakan Hamba Allah yang memiliki tujuan hidup hanya beribadah kepada Allah
SWT. Maka, dalam menjalani kehidupan senantiasa diarahkan pada tujuan hidup tersebut.
Terlebih ia akan selalu merasa diawasi karena memang ia meyakini bahwa apa yang
dilakukan di dunia ini akan dihisab kelah di Akhirat. Selain itu, dari sisi
masyarakat yang islami akan terbentuk kebiasaan untuk saling mengingatkan antar
sesama. Tentunya, sebagai penjagaan dari suasana tersebut harus ada peran
negara yang menjalankan Islam untuk menanamkan karakter islami pada individu
dan membangun suasa islami dalam masyarakat. Sehingga, tidak tercipta individu
maupun masyarakat yang berpemahaman terpisah antara pusaran agama dengan
pusaran kehidupan.
Komentar
Posting Komentar